Di Desa Singocandi terdapat dusun
yang namanya menggetarkan jiwa n hati, yakni "SINGOPADON" (SINGA
BICARA). Di dalam dusun Singopadon ini terdapat makam "MBAH PUSPOYUDO
SINGOPADON", menurut Mbah Sya'roni beliau ini adalah "PRUKUL-nya MBAH
SUNAN KUDUS" (Juru Gebok-nya/ Algojo). Pintu masuk menuju makam beliau
terdapat 2 batu besar sebelah kanan kiri pintu, konon ceritanya 2 batu ini
adalah perwujudan DUA SINGA (Singo putih dan Singo kuning).
Ada
sebuah cerita: Ada seorang warga Desa Krandon Kudus yang setiap harinya hadlroh
kepada Mbah Puspoyudo Singopadon, dalam suatu malam rumah warga Krandon ini
akan di malingi orang. Tetapi apa yang terjadi ??? Maling itu lari
terbirit-birit karena merasa di depan rumah ini dijaga “SINGA”. Masya Allah ….
Akhirnya maling itu tidak jadi mengambil barang-barang di rumah itu. Informasi
dari warga, banyak keturunan Mbah Puspoyudo Singopadon yang masih hidup sampai
sekarang yang berada di sekitar makam beliau ini, bahkan yang ada di luar desa Singopadon
Singocandi Kudus dan luar kota.
Banyak warga sekitar bercerita,
bahwa Mbah Puspoyudo Singopadon itu “GALAK”. Ada beberapa cerita dari warga
Singopadon tentang hal itu (1) Ada orang menebang pohon pring yang berada di
atas makam beliau ini, tanpa minta ijin/ washilah dulu. Wal hasil “Orang yang
menebang pohon pring ini beberapa hari kemudian meninggal dunia; (2) Baru saja
terjadi di tahun 2015. Di sebelah utara makam beliau ini pohon besar yang di
tebang. Ada seorang laki-laki yang mengambil kayu sedikit untuk di jadikan
“AKIK”, Tetapi salahnya, orang laki-laki ini mengambil kayu itu tanpa minta
ijin/ washilah dulu. Akhirnya “Orang yang yang mengambil kayu itu minggu
depannya juga meninggal dunia; (3) Seorang sedang ziarah ke makam beliau,
ketika pulang sambil membawa batu yang berada di atas makam tanpa “nembung/
izin” dulu. Malam hari harinya ada suata tanpa rupa “Tolong kembalikan batu
tadi”. Setelah kejadian itu, keesokan harinya batu
itu dikembalikan/ diserahkan kepada juru juru kuncinya. Pesan dari Tokoh
masyarakat ataupun warga Singopadon adalah “HATI-HATI JIKALAU BERADA DI MAKAM
MBAH PUSPOYUDO SINGOPADON DAN SEKITAR KOMPLEK MAKAM”. Makam Mbah Puspoyudo
Singopadaon ini sering di ziarahi warga sekitar desa Singopadon, bahkan banyak
dari luar kota (yang sering terjadi para peziarah luar kota biasanya pas malam
hari (di atas pukul 22.00 WIB).
Ada versi lain menurut seorang
ulama’ di Kudus:
Bahwa Mbah Puspoyudo Singopadon adalah keturunan
dari Mbah Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dari jalur putra yang bernama
“Panembahan Palembang”. Salah satu putra Mbah Puspoyudo Singopadon yang menjadi
ulama’ di Kudus (yang merupakan Cikal Bakal Desa Damaran Kota Kudus) adalah
“MBAH DIPOKUSUMO” atau Sayyid Abdur Rahman bin Utsman.
**** ADA VERSI LAIN JUGA, CERITA TENTANG SEJARAH MBAH PUSPOYUDO SINGOPADON ****
Alkisah pada jaman
dulu ( penjajahan Belanda ) ± pada tahun 1660 di kota Kudus di perintah oleh
seorang Bupati dari kerajaan Belanda. Pada waktu itu gunung Muria dan
sekitarnya dilanda kerusahan yang menghebat. Perampokan, pembunuhan,
peperangan-peperangan yang tak henti-hentinya, sehingga meresahkan penduduk.
Karena hasil rampokan mereka makin lama makin menipis, maka tak ayal lagi jika
kerusuhan menjalar ke kota Kudus. Akibatnya tentara kerajaan Belanda pun turun
tangan dalam segi keamanannya. Namun karena para perusuh rupanya lebih lihai,
lebih pemberani, disamping dibekali ilmu bela diri dan ilmu kesaktian yang
tinggi dan tangguh dari pada tentara kerajaan Belanda, akhirnya penduduk tetap
saja merasa resah dan dalam keraguan, sehingga tentara keamanan Belanda lumpuh
total. Konon perusuh tersebut dikepalai oleh seorang jagoan/warok yang bernama
Surowage. Dia kebal peluru maupun senjata tajam lainnya dan memiliki kesaktian
yang tangguh. Kota Kudus tetap dilanda kerusuhan yang menghebat.
Pada suatu saat Bupati
memanggil seorang prajurit kabupaten untuk menghadap. Prajurit itu bernama
Sowijoyo (dalam sejarah cerita ini dia terkenal di panggil Pentul atau
lengkapnya Sowijoyo Pentul), beliau ini sebagai prajurit sekaligus sebagai
pendamping/penasehat bupati. Bupati berkata: “Pentul… kamu tahu bahwa kota
Kudus dewasa ini dilanda kerusuhan, sehingga kepercayaan rakyat terhadap
kewibawaan kita semakin luntur, bagaimana pendapatmu?”. Sowijoyo diam sejenak
seraya menjawab: “ndoro tuan hamba mohon waktu 2 hari untuk berpikir”.
“Baiklah” kata Bupati, “dan kuminta segera pertimbanganmu”. “Baik ndoro tuan”.
Kemudian Sowijoyo bersemedi di rumahnya selama 2 hari, lalu menghadap lagi
kepada Bupati. Kali ini Sowijoyo memberi jawaban yang positip, “ndoro tuan demi
kewibawaan ndoro dan demi keamanan kota Kudus, kami sanggup dan akan berusaha
demi rakyat untuk segera menumpas kerusuhan yang dipimpin oleh Surowage”.
Bupati berkata: “Sowijoyo, jika ini benar–benar keputusanmu, saya merasa lega
dan terima kasih atas keberanianmu dan saya berjanji kepadamu, jika engkau
berhasil menangkap Surawage dan kawan–kawan hidup atau mati disertai bukti,
maka kuhadiahkan kepadamu separo dari kota Kudus (seluas sigar semangka)”.
“Sendiko gusti, namun hamba mohon waktu 40 hari untuk bertapa dulu”.
Syahdan, Sowijoyo
menjalani tapa pendem ditanam di dalam tanah selam 40 hari, hanya kepala saja
yang kelihatan dan hanya minum air putih. Selama menjalani tapa, mulai matahari
terbit sampai terbenam selalu dipandangnya matahari, sehingga mata menjadi
merah darah. Setelah 40 hari berakhir, lalu Sowijoyo bangun dari bertapa pendem
dengan wajah lunglai, pucat pasi namun berwibawa. Setelah beberapa hari
kekuatan pulih kembali, maka beliau menghadap kepada Bupati lagi, lalu berkata:
“ndoro tuan, hamba siap dan mohon restu untuk berangkat menumpas perusuh”.
Dengan diantar beberapa orang prajurit pengawal, Sowijoyo berangkat ke kaki
gunung Muria tempat sarang Surowage. Terjadilah peperangan yang dahsyat antara
Sowijoyo dan Surowage mereka beradu kesaktian, namun ini semua tak berarti bagi
Sowijoyo. Dengan bekal kesaktiannya yang tangguh, Surowage dan kawan kawan
tertangkap hidup-hidup dan dibawalah Surowage dan kawan-kawan menghadap Bupati
di Kudus, akhirnya di hukum mati. Begitulah kota Kudus kembali menjadi aman dan
damai.
Dengan berhasilnya
pemulihan keamanan oleh Sowijoyo, maka berlangsunglah pesta upacara penyerahan
hadiah yang telah dijanjikan oleh Bupati kepada Sowijoyo, yaitu separo dari
kota Kudus, mulai dari batas kali Gelis ke barat, yang sampai saat ini
dinamakan Kudus Kulon, sedangkan yang sebelah timur kali Gelis tetap di bawah
kerajaan Belanda yang sampai kini dinamakan Kudus Wetan. Dan sebagai tanda
penghormatan, Sowijoyo dinaikkan pangkatnya dari prajurit menjadi Adipati
dengan gelar Pangeran dan bertahta di kampung Candi, Kudus Kulon dengan
nama Pangeran Singopadon. Sampai hayatnya beliau disemayamkan di desa
Candi (Singo Candi )
Demikianlah sekilas
sejarah dari pokok asal-usul nama Pangeran Singopadon yang kami sadap dan
kemudian kami susun dari nara sumber dari almarhumah Ibunda (1) Sukarmi
Sumodihardjo putra keempat dari R Sutowijidjojo yang di desa
Ngantenan/Barongan, meninggal pada tahun 1960 di Kudus. (2) Bude Siti Aminah
Kartodirono putera pertama dari R Sutowidjojo yang bersemayam di desa Bareng
Hadipolo, meninggal tahun 1957 di Bareng, yang di terima dari almarhum Mbah
Sumodihardjo Klaling yang dibicarakan dengan Bude Aminah Kartodirono yang masih
berjumpa belasan tahun yang telah lampau.
Tertanggal : Surakarta
,21 April 1987. Penyusun Darmoyono.
Catatan:
- Makam
P Singopadon terdapat dikampung /desa Candi Kudus Kulon dan sampai kini
masih terawat baik.
- Sejarah
ringkas ini kami susun hanya sekedar untuk di Ketahui oleh para putra
wayah dari nenek moyang kita dan di pakai untuk landasan jalinan ikatan
keluarga Kudus agar tidak putus silaturahmi keluarga kita. Amin.
*=>Rute menuju
maqom MBAH PUSPOYUDO SINGOPADON:
MA/ SMK Banak ke timur
lurus, sampai ada perempatan masih lurus kira-kira 200 meter ada gang kecil
batako ambil kiri/ ke utara (sebelum pertigaan), lurus 20 meter, disitulah
makam beliau " MBAH PUSPOYUDO SINGOPADON ". Tepatnya di belakang
Masjid Baitu Muqoddas Singopadon Singocandi Kudus.
*^Monggo engkang badhe ziarah beliau, dengan niat "TAQORRUB ILALLAH".
Moga saja kegiatan ZIAMA" ini bisa menjadi kegiatan rutin bersama keluarga
dan teman (Mifrohul Hana Chamami ).
Mohon selalu bimbingan, arahan, nasehat dan motivasinya dari sang guru.